Bangsa Surplus Politikus

9 02 2009

Tulisan ini pernah dimuat diharian Surya

Menarik untuk diamati bersama, ada sebuah tendensi umum bahwa mayoritas penduduk negeri ini mempunyai syahwat politik yang sangat besar. Bukan hanya dari para incumbent, melainkan mulai dari para artis, yang kehidupannya bergelimang dengan kesenangan, para tokoh agama (kyai, gus,dll) yang “jam ngajinya” mulai berkurang dipesantren, hingga pengamen di Jabar yang “nekat”memproklamirkan diri sebagai calon wakil rakyat. Hal in tentu sah-sah saja mengingat sekarang adalah zaman demokrasi dan setiap warga bebas menggunakan hak politiknya.

Pasca terbukanya keran demokrasi pada tahun 1998 dengan ditandai tumbangnya rezim Soeharto dengan Orde Barunya, kini Orde Reformasi telah menjelma sebagai lahan subur bagi setiap penduduk Indonesia untuk menyalurkan hak politiknya. Sebagai contoh antusiasme publik dalam berpolitik praktis, pemilu pada tahun 1999 telah diikuti oleh 48 Parpol, hal ini menjadi bukti shahih akan rindunya setiap penduduk negeri ini akan suasana demokratis. Menurut data dari KPU, ada sekitar 11.868 lebih calon legislative yang siap bertarung di pemilu 2009. Mereka berasal dari 77 daerah pemilih di 33 provinsi untuk memperebutkan 560 kursi DPR. Belum lagi yang dari berbagai tingkatan lainnya dan beberapa caleg yang gagal lulus seleksi.
Perang spanduk, stiker dan baliho diberbagai sudut kota menjadi ritual wajib para calon pemimpin rakyat ini, gambar mereka pun bermacam-macam, ada yang terlihat kharismatik dengan symbol agama, ada yang mukanya tegang dan serius, hingga caleg perempuan yang berparas cantik terlihat seperti artis. Variasi trik ini diharap mampu mendulang suara yang banyak. Namun dilain sisi, masyarakat sudah semakin pandai dan pintar dengan tidak memilih “kucing dalam karung” untuk kesejahteraan rakyat lima tahun kedepan. Mereka tidak akan memilih caleg yang belum teruji kapasitas dan sepak terjangnya dmasyarakat dengan hanya bermodalkan promosi tersebut.
Surplus politikus ini tentu bisa menjadi boomerang bagi kita dimana terdapat sebuah asumsi bahwa memimpin dan mengubah kondisi rakyat dari “sengsara” menuju sejahtera adalah sesuatu yang sangat mudah. Mereka tampil seolah menjadi problem solver yang mampu mengatasi krisis pangan, menurunkan harga sembako dan lain sebagainya. Apakah mereka benar – benar berkomitmen ? merujuk kepada sebuah artikel di salah satu Koran nasional, ada sekitar 61% caleg di Jawa Timur yang belum memberikan data yang jelas akan pekerjaan tetap mereka. Yang ditakutkan adalah lahan politik ini dijadikan sebagai ajang menumpang hidup semata. Ketika terpilih kelak, tahun pertama dan kedua sebagai pengembalian modal kampanye, tahun ketiga dan seterusnya untuk kesejahteraan keluarga dan orang-orang sekitarnya.
Yang terpenting, saat memasuki dunia politik, mereka harus menyiapkan diri, mengasah ketrampilan manajemen birokrasi, membaca dan membuat produk legislasi, serta responsif terhadap problematika masyarakat. Dan hal-hal lain yang dibutuhkan seorang politisi; mental maupun intelektual, serta mempunyai etika politik yang berlandaskan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Disamping itu, mereka harus menjadi figure negarawan yang mau menjadi pelayan rakyat. Bukan sekedar politikus yang menjadikan rakyat sebagai pelayan. Semoga.


Actions

Information

One response

9 02 2009
Beibeh

Napa kok gus jam ngajinya berkurang?!?
Karaokean mulu seh.haha
Ralat–>PEMILU 2009
Good article beibehB-)

Leave a comment